Mengapa perusahaan bagus menjadi jelek? Berdasarkan survey dan literatur
banyak perusahan raksasa seperti Kodak, IBM, Yahoo, dan seperti yang lain dulu
pernah mengalami sukses yang luar biasa namun akhirnya kandas.
Dalam karyanya The Living Company , Arie de Geus mendapati sepertiga
perusahaan yang terdaftar dalam Fortune 500 tahun 1970 telah lenyap pada 1983,
baik karena merger, akuisis, maupun perpecahan. De Geus mengutip hasil survey
dari belanda yang menunjukkan rata-rata usia harapan hidup perusahaan di Jepang
dan Eropa adalah 12,5 tahun. Hasil studi lain menunjukkan adanya penurunan usia
harapan hidup perusahaan di Negara-negara besar Eropa: dari 45 menjadi 18 tahun
di Jerman, dari 13 menjadi 9 tahun di Prancis, dan dari 10 menjadi 4 tahun di
Inggris Raya.
Ketika perusahaan meraih kejayaan, mereka tanpa sadar menciptakan
kebiasaan merusak yang menggerogoti kesuksesan mereka. Kebiasaan tersebut
adalah hasil pemelajaraan, bukan bawaan lahir, dan kita dapat melihat bila suatu
perusahaan mulai mengidap kebiasaan menghancurkan tersebut. Kebiasaan
tersebut kian lama kian melekat sehingga menimbulkan ketagihan. Langkah
perbaikan umumnya di picu oleh krisis. Kebiasaan buruk menyelinap diam-diam
ke dalam diri kita. Kita makan berlebihan, jarang berolahraga, tapi kita tetap
merasa sehat-sehat sampai terkena serangan jantung ringan yang menyentakkan
kesadaran atas bahaya nyata kematian. Dalam konteks perusahaan, krisis bisa
muncul dalam bentuk pesaing, tergerogotinya pangsa pasar, dan hadirnya teknologi
baru yang mengancam keunggulan perusahaan. Perkembangan tersebut dapat
menjadi sumber malapetaka, atau sebaliknya, menyadarkan perusahaan dari
kebiasaan buruknya.
Banyak juga perusahaan yang aktif dengan berusaha mengurangi kebiasan
buruknya, mengubah perilakunya, juga perusahaan yang telah berhasil
melakukannya dan berada dalam tahap “pemulihan”. Bila anda bersedia
mengevaluasi diri anda secara jujur untuk mengetahui kelemahaan Anda, Anda
pasti akan dapat mengubah diri Anda.
SEMUANYA TENTANG KEPEMIMPINAN
Jenis “kebiasaan merusak diri” apa yang anda temukan dalam ketiga cerita
perusahaan di atas? Pengingkaran ? Arogansi? Sikap puas diri? Betul. Betul .
Betul. Bagaimana dengan “ketergantungan pada kompetensi” dan “rabun jauh
persaingan”? Betul, betul . Bila memakai sudut pandang yang lain, cerita-cerita di
atas juga menunjukkan dua kebiasaan lain, yaitu “kewilayahan (persaingan
internal) dan “obsesi volume” ( struktur biaya tinggi).
Namun, saya punya banyak cerita lainnya. Bab-bab selanjutnya akan membahas
tujuh kebiasaan merusak tersebut, perusahaan yang terkena, dan bagaimana
perusahaan mengatasi atau gagal mengatasinya. Melalui pembahasan tersebut, saya
berharap anda dapat mengenali dan mengatasi kebiasaan merusak di perusahaan
anda sendiri.
Namun, kita definisikan terlebih dahulu istilah secara lebih jelas. Mari kita
bahas dua arti dari kata “buruk”. Arti pertama yang lebih jelas dan langsung, buruk
berarti tidak sehat, tidak baik bagi anda, merugikan diri sendiri, atau merusak .
tindakan yang membuat pelanggan dan pemasok membenci anda sehingga mereka
beralih ke pesaing jelas “buruk” dalam konteks ini. Demikian pula dengan arogansi
dan manipulasi terhadap para pemangku kepentingan. Namun, “buruk” dalam
percaturan bisnis juga dapat berarti “hilang peluang”. Sikap puas diri atau
meremehkan pesaing dapat membuat anda gagal memaksimalkan potensi.
Tindakan anda tidak harus buruk “secara aktif” atau dibenci oleh lingkungan
sekitar, tetapi visi anda gagal sehingga anda akan atau sudah melewatkan
kesempatan.
Akhirnya, mengenai kepemimpinan. Terkadang CEO adalah pihak yang
bertanggung jawab atas kebiasaan merusak di perusahaannya, yang sudah menjadi
tugasnya untuk memberantas kebiasaan itu. Ketika dibutuhkan pencegahaan
proaktif, ini hanya dapat dilakukan dari atas. Bila krisis sudah parah dan kebiasaan
sudah mendarah daging, sering kali dibutuhkan pemimpin baru dari luar. Kita
sudah melihat pada kasus IBM dan anda nanti akan melihat contoh lainnya.
Mari kita lihat kinerja GE di bawah Jack Welch. Ketika Welch menjadi CEO
pada awal 1980-an, analisis menilai GE sebagai perusahaan yang solid, tapi
stagnan, hanya tumbuh mengikuti GNP. Welch tidak setuju dan segera
menggebrak GE melalui perubahaan raikalnya. Dia meluncurkan program restrukturisasi dengan strategi “ No.1 atau No.2”, yang mengharuskan “pembenahan, penutupan, atau penjualan” terhadap lini bisnis yang tidak menjadi
nomor 1 atau 2 di pasar global dan tidak memiliki potensi pertumbuhan besar.
Demi strategi ini, GE menjual 400 lini bisnis dan produk termasuk peralatan rumah
tangga dan operasi pertambangan senilai 15 miliar dollar dan mengakuisisi 600 lini
bisnis dan produk lainnya senilai 26 miliar dollar. Pada 1988, GE memiliki
perusahaan hi-tech dan jasa menurut Welch memiliki potensi pertumbuhan global
sangat besar.
GE menjadi contoh yang baik mengenai antisipatif, yaitu pendekatan
proaktif untuk menentukan nasib sendiri di tengah pasar yang berubah. Manajemen
antisipatif sangat dibutuhkan dan efektif ketika lingkungan eksternal berubah cepat
dan drastis. Perusahaan yang menerapkannya akan memiliki kompetitif karena
mengantisipasi tren secara lebih baik dan lebih cepat.
Sebagaimana terlihat dalam gambar berikut, perusahaan yang terus
menjalankan status quo dan melihat dari dalan keluar (bukannya dari luar ke
dalam) ketika lingkungan berubah akan terus mengalami kemunduran. Perusahaan
itu mati pelan-pelan, seperti mengidap penyakit kronis.
Ketika menghadapi ancaman yang datang tiba-tiba, perusahaan akan
menjalankan manajemen krisis agar bertahan hidup. Misalnya, bila suatu bank
pembiayaan kehilangan nasabah penting yang selama ini di anggap loyal, bank
tersebut dapat segera melakukan survey untuk mengetahui opini nasabah lain
terhadap perusahaan dan memusatkan perhatian pada manajemen relasi. Perubahan
yang didorong oleh ancaman seperti itu dapat memperpanjang umur, tapi tidak
memastikan pertumbuhan atau kemakmuran jangka panjang.
Pemimpin harus mengantisipasi perubahan lingkungan dan secara pro-aktif
memosisikan perusahaan agar lebih sukses dibandingkan kalau di bawah status
quo. Secara internal, mereka harus mengolah dan mengubah budaya, proses,
struktur, dan system perusahaan. Secara eksternal, mereka harus memengaruhi
regulasi agar posisi perusahaan selalu aman dalam menghadapi perubahan
teknologi, persaingan, pasar modal, regulas, globalisasi, dan kebutuhan pasar.
Kepemimpinan membentuk ekspetasi, manajemen memenuhinya.
Manajemen sangat hebat dalam mempertahankan kebiasaan, yang baik ataupun
buruk. Perubahan nyata hanya dapat terjadi dari eksekutif yang memiliki
kewenangan mengawalinya.
Singkatnya kelangsungan bisnis ada ditangan pemimpinnya, dan para
pemimpin perlu melakukan perbaikan secara terus menerus agar perusahaan bisa
bertahan 100 tahun bahkan lebih.