Family Business Life Cycle
Bisnis keluarga adalah salah satu jenis bisnis yang paling tua di dunia dan bahkan beberapa merek terkenal di Indonesia merupakan bisnis kelurga sebut saja BCA, Djarum, Indofood, Wing group, hoka-hoka bento, to name a few. Tetapi bisnis sekelas glodok yang masih memakai approach konvensional mengalami beberapa kendala ketika dalam tahap transisi menuju professional management dan saat alih generasi.
Ada mitos terhadap bisnis keluarga yaitu generasi pertama yang membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkannya. Mendiskusikan family business atau bisnis keluarga adalah suatu hal yang tidak ada habisnya dan tetap saja menarik. Sebelum berlanjut, kita bahas dulu konsep family business sebagi berikut. Suatu perusahaan dikatakan bisnis keluarga bila sebuah perusahaan bisnis yang apabila mayoritas suara atau pengendalian berada di bawah pengendalian keluarga (pasangan, orang tua, anak atau masih kerabat sang pemilik).
Dalam beberapa kasus bisnis keluarga yang saya tangani sering
factor non-teknis dan emosi yang memegang peranan penting. Generasi penerus dianggap hanya kaya teori tanpa praktik. Sebagian mungkin hanya menghabiskan waktu belajar di belakang meja dan langsung ingin jadi direktur. Sementara pendiri malas lengser dibekap pameo generasi pertama membangun, generasi ke dua membesarkan, dan generasi ketiga menghancurkan. Tapi, tahukah anda, belakangan terjadi percepatan, yaitu generasi ke dua yang menghancurkan, apa benar?
Bisnis keluarga terbukti menjadi penopang kekuatan ekonomi sebuah keluarga, di Amerika Serikat, Jepang, Korea begitu banyak bisnis keluarga kelas dunia yang telah menyumbag devisa negara jutaan dollar. Merek seperti Toyota, Gucci, Wall
Mart, Korean Airlines merupakan bisnis keluarga yang telah menjadi konglomerasi besar. Di Indonesia pun, sedang terjadi kebangkitan bisnis keluarga dan sudah terbukti bisnis keluarga lebih tahan krisis, di kelola secara efisien dan memiliki ‘resep’ sukses turun-menurun.
Dalam beberapa kasus bisnis keluarga yang saya tangani sering factor non-teknis dan emosi yang memegang peranan penting. Generasi penerus dianggap hanya kaya teori tanpa praktik. Sebagaian mungkin hanya menghabiskan waktu belajar di
belakang meja dan langsung ingin jadi direktur. Sementara pendiri malas lengser dibekap pameo generasi pertama membangun, generasi ke dua membesarkan, dan generasi ketiga menghancurkan. Tapi, tahukah anda, belakangan terjadi percepatan, yaitu generasi ke dua yang menghancurkan, apa benar?
Founder Syndrome sering menghigapi para pendiri bisnis keluarga, artinya mereka diliputi oleh phobia, takut tak akan lagi dianggap lantaran tidak lagi berkuasa. Ada kecenderungan dalam sesi coaching saya menemukan para pendiri ini lebih focus terhadap ketakutannya ketimbang kesuksesan organisasi. Kondisi ini sering kali membuat sang pendiri kelihatan ngotot dan sangat kaku. Pendiri kesulitan untuk mendelegasikan pekerjaan sehingga menjadi sosok one-man show.
Coaching will help founders to delegate and prepare for the successors!
Pendiri perusahaan, PT.Mustika Ratu Mooryati Soedibyo, bahkan membutuhkan waktu seperempat abad untuk menyiapkan ahli waris perusahaannya. Banyak perusahaan keluarga yang membesar di tangan generasi penerus. Tetapi perusahaan keluarga yang lantas meredup bahkan tumbang pasca pendirinya pension juga tak kalah banyak.
Bahkan, di negara semaju Amerika Serikat perusahaan keluarga gagal melewati usia 25 tahun akibat peralihan antar generasi kurang berjalan mulus. Ada banyak factor penyebab suksesi antara generasi di perusahaan gagal. Di sejumlah keluarga bahkan memaknai suksesi selayaknya kematian, sehingga membahas suksesi dianggap tabu. Danketika kematian benar-benar terjadi, generasi penggantinya tidak siap.
Mengapa perusahaan keluarga mempunyai peran dominan ? Karena ciri positif yang dimiliki : keterlibatan anggota keluarga, komitmen yang tinggi, dan saling ketergantungan yang tinggi pula. Dibandingkan perusahaan publik, perusahaan keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut pandang jangka panjang terhadap bisnisnya. Hal ini agak berbeda dengan perusahaan publik yang seringkali banyak bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan jangka pendek karena terkait dengan fluktuasi saham. Pemimpin dalam perusahaan keluarga mungkin memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan karyawan, pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya, yang memberi dampak positif terhadap kualitas produk mereka. Memiliki nama dan produk membuat para pemimpin bisnis keluarga lebih sadar terhadap posisi mereka dalam komunitas, yang mendorong mereka untuk menjaga reputasi mereka.
Permasalah umum yang sering kali juga mencuat dalam suatu bisnis keluarga adalah masalah perekrutan karyawan, pengembangan bisnis dan produk usaha, suksesi perusahaan ke generasi selanjutnya, re-organisasi perusahaan, ketersediaan keuangan, teknologi dan inovasi serta pengendalian arus kas dan biaya. Semua aspek tersebut menjadi faktor internal yang dihadapi oleh pelaku bisnis keluarga saat ini.
Melihat tantangan yang semakin kompleks di masa depan mau tidak mau bisnis keluarga harus berkonsilidasi dalam mengelola manajemen lebih modern, membangun kapabilitas teknologi (otomasi) dan mampu beradaptasi dengan pasar (perubahan perilaku konsumen) yang saat ini sangat dinamis, penuh ketidakpastian dan fenomena disrupsi dengan munculnya start up (perusahaan rintisan berbasis teknologi) yang bisa merusak pasar perusahaan bisnis keluarga.
Kunci utama dari keberlangsungan dari bisnis keluarga adalah keberhasilan mereka melakukan suksesi kepemimpinan bisnis dari generasi ke generasi selanjutnya. Perusahaan keluarga dituntut untuk mencapai tujuan jangka perusahaan dengan pengelolaan lebih profesional, menjadi semakin inovatif dalam hal manajemen dan produksi. Mereka mampu menarik tenaga kerja (SDM) yang terampil dan berkualitas kedalam perusahaannya.
5 Strategi Bisnis Keluarga Menuju Management
Profesional:
1. Budaya lisan dirubah menjadi tertulis- reporting yang jelas dan regular memudahkan semua lini untuk meng-eksekusi strategi yang ditetapkan
2. Rekrut SDM yang mumpuni dan inovatif
3. Memakai system komputerisasi agar meminimalkan kesalahan dan efisiensi kerja.
4. Memakai parameter kerja untuk evaluasi dan pembenahan secara terus-menerus.
5. Memakai bantuan professional dalam bidang keuangan, IT dan seorang business coach agar pembenahan berjalan secara terstruktur dan cepat.
Sama halnya seperti Coach Ben yang selama 17 tahun sudah banyak sekali mengcoaching perusahaan-perusahaan family business menjadi perusahaan berkembang sampai mengcoaching perusahaan besar agar tetap bertahan dari para
kompetitor bahkan menjadi perusahaan yang lebih maju lagi. Coach ben mengcoach berbagai industri bisnis untuk mencapai keinginan perusahaan dan mampu menggilas lawan-lawan mereka.